Segera Bersihkan Hatimu dengan Tauhid dan Keikhlasan (Bag. 2)
Tauhid dan keikhlasan
Allah berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan kepada-Nya agama dengan hanif, mendirikan salat, dan menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Tidaklah mereka diperintahkan di dalam Taurat dan Injil kecuali supaya memurnikan ibadah kepada Allah dengan penuh ketauhidan.” (Disebutkan oleh al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya, Ma’alim at-Tanzil, hal. 1426)
Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Ayat ini merupakan salah satu dalil yang menunjukkan wajibnya niat dalam amal-amal ibadah, karena sesungguhnya ikhlas itu termasuk amalan hati.” (Lihat Fat-hul Qadir oleh asy-Syaukani, hal. 1644)
Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan ‘memurnikan agama untuk-Nya’ dengan makna, “Yaitu dalam keadaan bertauhid, sehingga mereka tidak beribadah kepada selain-Nya.” (Lihat Zaadul Masiir fi ‘Ilmi at-Tafsiir oleh Ibnul Jauzi, hal. 1576)
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwasanya tauhid dan keikhlasan dalam beragama merupakan ajaran agama yang lurus dan mengantarkan menuju surga yang penuh dengan kenikmatan. Adapun selain itu, maka ia adalah jalan-jalan yang menjerumuskan ke dalam neraka. (Lihat penjelasan Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Si’di rahimahullah dalam Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 932)
Syekh Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa dari ayat ini, kita bisa memetik pelajaran bahwasanya hakikat tauhid itu adalah keikhlasan kepada Allah tanpa ada sedikit pun kecondongan kepada syirik. Oleh sebab itu, barangsiapa yang tidak ikhlas kepada Allah, mereka bukanlah orang yang bertauhid. Begitu pula barangsiapa menjadikan ibadahnya dia tujukan kepada selain Allah, maka dia juga bukan orang yang bertauhid. (Lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul, hal. 76-77)
Dari Itban bin Malik radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka setiap orang yang mengucapkan laa ilaha illallah karena mengharapkan wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini memberikan banyak pelajaran bagi kita, di antaranya:
1) keutamaan tauhid, tauhid menjadi sebab untuk selamat dari neraka dan dihapuskannya dosa-dosa;
2) ucapan syahadat dengan lisan saja tidak cukup apabila tidak dilandasi keyakinan dan keikhlasan dari dalam hati, sebagaimana tidak cukup keyakinan tanpa diikrarkan secara lisan dengan kalimat syahadat;
3) orang bertauhid yang sempurna tauhidnya, maka ia akan diharamkan masuk neraka sejak awal, artinya dia akan langsung masuk surga;
4) jika mengucapkan laa ilaha illallah tetapi juga berdoa kepada selain Allah, maka ucapan syahadatnya itu tidak bermanfaat, dan faidah-faidah lainnya. (Silahkan baca al-Mulakhosh fi Syarh Kitab at-Tauhid oleh Syekh Shalih al-Fauzan, hal. 28-29)
Orang yang ikhlas (bertauhid) akan selamat dari hukuman kekal di dalam neraka, yaitu selama di dalam hatinya masih tersisa iman (tauhid) meskipun sekecil biji sawi. Dan apabila keikhlasan itu sempurna di dalam hatinya, maka ia akan selamat dari hukuman neraka dan tidak masuk ke dalamnya sama sekali. (Lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 17)
Orang yang mendapatkan keutamaan ini hanyalah orang yang ikhlas dalam mengucapkan kalimat syahadat. Sehingga terkecualikan dari keutamaan ini adalah orang-orang munafik, dikarenakan mereka tidak mencari wajah Allah ketika mengucapkannya. (Lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 26).
Hadis ini mengandung bantahan bagi kaum Murji’ah yang menganggap bahwa ucapan laa ilaha illallah itu sudah cukup meskipun tidak disertai dengan harapan untuk mencari wajah Allah (ikhlas). Demikian pula, hadis ini mengandung bantahan bagi kaum Khawarij dan Mu’tazilah yang beranggapan bahwa pelaku dosa besar kekal di dalam neraka. Sementara hadis ini menunjukkan bahwa para pelaku perbuatan-perbuatan yang diharamkan tersebut -dan tidak bertobat sebelum matinya- tidak akan kekal di neraka, hanya saja pelakunya memang berhak menerima hukuman (siksa). (Lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, 1: 46)
Keikhlasan merupakan sesuatu yang membutuhkan perjuangan dan kesungguh-sungguhan dalam menundukkan hawa nafsu. Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih sulit bagi jiwa manusia selain daripada ikhlas. Karena di dalamnya sama sekali tidak terdapat jatah untuk memuaskan hawa nafsunya.” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 26)
Sebagian salaf berkata, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk meraih ikhlas.” (Lihat al-Qaul al-Mufid, 2: 53)
Sebesar apapun amalan, maka yang akan diterima Allah hanyalah amal yang ikhlas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا، وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
“Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali yang dilakukan dengan ikhlas dan demi mencari wajah-Nya.” (HR. An-Nasa’i dan dihasankan al-Albani) (Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 21)
Orang yang ikhlas akan merasa ringan dalam melakukan berbagai ketaatan -yang pada umumnya terasa memberatkan-, karena orang yang ikhlas senantiasa menyimpan harapan pahala dari Allah. Demikian pula, ia akan merasa ringan dalam meninggalkan maksiat, karena rasa takut akan hukuman Rabbnya yang tertanam kuat di dalam hatinya. (Lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 17)
Orang yang ikhlas dalam beramal akan bisa mengubah amalannya yang tampak sedikit menjadi banyak pahalanya, sehingga ucapan dan amalannya akan membuahkan pahala yang berlipat ganda. (Lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 19)
Syekh as-Si’di rahimahullah mengatakan, “Amal-amal itu sesungguhnya memiliki keutamaan yang bervariasi dan pahala yang berlipat-lipat tergantung pada keimanan dan keikhlasan yang terdapat di dalam hati orang yang melakukannya… ” (Bahjah al-Qulub al-Abrar, hal. 17)
Langkah menuju ikhlas
Tauhid kepada Allah ditegakkan di atas ikhlas dan shidq (kejujuran). Ikhlas adalah mengesakan Dzat yang dikehendaki dan disembah; yaitu dengan tidak mengangkat sekutu atau sesembahan lain bersama-Nya, sehingga dia hanya beribadah kepada Allah semata. Adapun shidq artinya mengesakan keinginan dan kehendak, yaitu dengan menyatukan tekad dan keinginan untuk menunaikan ibadah secara sempurna dan tidak menyibukkan hatinya dengan hal-hal selainnya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ikhlas bermakna mengesakan Dzat yang dikehendaki, sedangkan shidq adalah menunggalkan keinginan. (Lihat keterangan Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam ash-Shidqu ma’a Allah, hal. 13)
Barangsiapa yang tidak ikhlas dalam mewujudkan makna kalimat laa ilaha illallah, maka dia adalah orang musyrik -karena ia telah beribadah kepada selain-Nya-. Dan barangsiapa yang tidak shidq (jujur) dalam mengucapkan kalimat laa ilaha illallah, maka dia adalah orang munafik. Allah berfirman,
إِذَا جَاءكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ
“Apabila datang kepadamu orang-orang munafik, mereka berkata, ‘Kami bersaksi bahwasanya kamu adalah benar-benar utusan Allah.’ Allah benar-benar mengetahui bahwa kamu sungguh rasul-Nya, dan Allah bersaksi bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (QS. al-Munafiqun: 1) (Lihat ash-Shidqu ma’a Allah, hal. 16)
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Benar-benar ada dahulu seorang lelaki yang memilih waktu tertentu untuk menyendiri, menunaikan salat dan menasihati keluarganya pada waktu itu, lalu dia berpesan: Jika ada orang yang mencariku, katakanlah kepadanya bahwa ‘dia sedang ada keperluan’.” (Lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal.65)
Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata, “Tidaklah aku melihat seorang semisal Ahmad bin Hanbal. Kami telah bersahabat dengannya selama lima puluh tahun. Meskipun demikian, beliau sama sekali tidak pernah membanggakan kepada kami apa-apa yang ada pada dirinya berupa kesalehan dan kebaikan.” (Lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 536)
Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya, “Apa saja sebab-sebab untuk bisa merealisasikan ikhlas?”
Beliau menjawab,
“Hendaknya anda mempelajari ilmu yang bermanfaat, yang dengan itu anda akan mengenali apa itu hakikat ikhlas dalam beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sehingga anda bisa mengenal aqidah Anda. Demikian pula, hendaknya anda memperbaiki niat -dalam beramal-, janganlah anda menyimpan ambisi keduniaan, jangan berniat mencari pujian dan sanjungan manusia.
Inilah ikhlas. Anda memurnikan amal anda untuk mengabdi kepada Allah, sehingga tidak tercampuri di dalamnya syirik akbar atau syirik ashghar, bersih dari riya’ dan sum’ah, dan bukan pula untuk mencari dunia.”
[Selesai]
***
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel Muslim.or.id
Referensi dari internet:
- Tanya Jawab Syekh Shalih al-Fauzan. Asbab Mu’inah ala Tahqiq al-Ikhlas. Sumber: http://alfawzan.af.org.sa/node/16563
- Atsar wa Ta’liq. Syaikh Abdurrazzaq al-Badr. Daawi qalbaka. Sumber: https://al-badr.net/muqolat/6668
Artikel asli: https://muslim.or.id/108334-segera-bersihkan-hatimu-dengan-tauhid-dan-keikhlasan-bag-2.html